30/10/2010 ETLJB expresses sorrowful condolences and solidarity with the citizens of Indonesia at this time of catastrophes.
As the following article suggests, the tsunami disaster in Mentawai was not only a natural disaster but a policy disaster as well.
Perhaps there is a lesson here for East Timor which is also prone to the tectonic forces that surround it.
How prepared is the East Timorese government to detect or be informed of giant earthquakes that could potentially generate a tsunami that would submerge the coastal strip? Or deal with the terrible aftermath?
-----
Pasca Tsunami Mentawai 2010 |
Tsunami Mentawai Bencana Kebijakan Sabtu, 30 Oktober 2010 00:00 WIB - BENCANA tsunami di Mentawai dan letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan kebenaran teori para ahli bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana.
Rawan karena Indonesia secara geologis diapit tiga lempeng bumi yang berpotensi gempa. Yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Implikasinya hampir semua daerah di Indonesia sangat rawan gempa dan tsunami.
Daerah-daerah yang sangat rawan gempa itu meliputi wilayah yang sangat luas mulai selatan Pulau Sumatra, selatan Pulau Jawa, selatan Pulau Bali, hingga Kepulauan Maluku.
Di sisi lain, wilayah Indonesia juga dilingkari rangkaian gunung berapi aktif yang siap memuntahkan letusan.
Teori tentang kerawanan Indonesia secara geografis dan geologis itu telah diketahui sejak lama, tidak saja oleh para ahli, tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Namun, common sense itu berhenti di level akal sehat dan tidak memiliki kaitan apa pun di level kebijakan pemerintah.
Karena itu, setiap kali terjadi bencana alam, kita selalu kelabakan, kocar-kacir, keteteran, kaget, dan lamban.
Bencana tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah fakta terbaru yang menunjukkan bencana demi bencana terus terjadi, tetapi kita lalai dengan antisipasi. Bukan karena ketidaktahuan, melainkan ketidakpedulian yang berlindung di balik kekurangan uang. Padahal di balik itu, kerakusan dalam pengelolaan dana dan kebijakan berkecamuk dari pusat hingga daerah.
Kita adalah bangsa yang lebih senang bereaksi setelah bencana terjadi.
Setelah itu, melupakannya hingga terjadi lagi bencana dengan jumlah korban jiwa lebih besar lagi.
Yang lebih menyedihkan, tabiat buruk itu diperparah munculnya kenaifan dan ketidaksensitifan pejabat negara. Saat bencana terjadi, ada saja yang mengeluarkan pernyataan tidak patut dan tidak empatik.
Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie baru-baru ini yang menyalahkan para korban yang telah tinggal di daerah rawan bencana adalah salah satunya.
Alih-alih merancang kebijakan yang propenanganan bencana, ada saja pejabat negara yang mengeluarkan pernyataan tidak patut. Itu bentuk keangkuhan dan ketidakpedulian tersebut.
Besarnya jumlah korban tewas dan hilang serta penanganan pascabencana yang buruk di Mentawai adalah pelajaran mahal atas dosa-dosa pembangunan semesta yang mengabaikan wilayah pulau-pulau terluar.
Ia menjadi saksi bahwa hak atas keamanan dan keselamatan warga negara telah diabaikan.
Sesungguhnya, warga negara memiliki hak untuk selamat dan terlindung dari segala bentuk bahaya, risiko, kecelakaan, dan kerugian yang timbul dari bencana.
Di negeri bencana ini, negara nyaris tidak melakukan apa pun untuk mengantisipasi datangnya bencana yang menghilangkan hak hidup itu.
Kebijakan mitigasi bencana, yang mestinya dilakukan secara substansial dan masif oleh pemerintah melalui pembuatan dan penerapan kebijakan, hanya dijalankan sebagai bagian dari image building. Untuk pejabat negara yang berkunjung ke Mentawai, fasilitas tersedia lengkap dan cepat.
Setelah pejabat selesai berkunjung, Mentawai dibiarkan dalam keterpencilan dengan segala penderitaan. Itu berlangsung sejak dulu, sekarang, dan selamanya. Itulah bencana Mentawai yang sesungguhnya.
Rawan karena Indonesia secara geologis diapit tiga lempeng bumi yang berpotensi gempa. Yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Implikasinya hampir semua daerah di Indonesia sangat rawan gempa dan tsunami.
Daerah-daerah yang sangat rawan gempa itu meliputi wilayah yang sangat luas mulai selatan Pulau Sumatra, selatan Pulau Jawa, selatan Pulau Bali, hingga Kepulauan Maluku.
Di sisi lain, wilayah Indonesia juga dilingkari rangkaian gunung berapi aktif yang siap memuntahkan letusan.
Teori tentang kerawanan Indonesia secara geografis dan geologis itu telah diketahui sejak lama, tidak saja oleh para ahli, tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Namun, common sense itu berhenti di level akal sehat dan tidak memiliki kaitan apa pun di level kebijakan pemerintah.
Karena itu, setiap kali terjadi bencana alam, kita selalu kelabakan, kocar-kacir, keteteran, kaget, dan lamban.
Bencana tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah fakta terbaru yang menunjukkan bencana demi bencana terus terjadi, tetapi kita lalai dengan antisipasi. Bukan karena ketidaktahuan, melainkan ketidakpedulian yang berlindung di balik kekurangan uang. Padahal di balik itu, kerakusan dalam pengelolaan dana dan kebijakan berkecamuk dari pusat hingga daerah.
Kita adalah bangsa yang lebih senang bereaksi setelah bencana terjadi.
Setelah itu, melupakannya hingga terjadi lagi bencana dengan jumlah korban jiwa lebih besar lagi.
Yang lebih menyedihkan, tabiat buruk itu diperparah munculnya kenaifan dan ketidaksensitifan pejabat negara. Saat bencana terjadi, ada saja yang mengeluarkan pernyataan tidak patut dan tidak empatik.
Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie baru-baru ini yang menyalahkan para korban yang telah tinggal di daerah rawan bencana adalah salah satunya.
Alih-alih merancang kebijakan yang propenanganan bencana, ada saja pejabat negara yang mengeluarkan pernyataan tidak patut. Itu bentuk keangkuhan dan ketidakpedulian tersebut.
Besarnya jumlah korban tewas dan hilang serta penanganan pascabencana yang buruk di Mentawai adalah pelajaran mahal atas dosa-dosa pembangunan semesta yang mengabaikan wilayah pulau-pulau terluar.
Ia menjadi saksi bahwa hak atas keamanan dan keselamatan warga negara telah diabaikan.
Sesungguhnya, warga negara memiliki hak untuk selamat dan terlindung dari segala bentuk bahaya, risiko, kecelakaan, dan kerugian yang timbul dari bencana.
Di negeri bencana ini, negara nyaris tidak melakukan apa pun untuk mengantisipasi datangnya bencana yang menghilangkan hak hidup itu.
Kebijakan mitigasi bencana, yang mestinya dilakukan secara substansial dan masif oleh pemerintah melalui pembuatan dan penerapan kebijakan, hanya dijalankan sebagai bagian dari image building. Untuk pejabat negara yang berkunjung ke Mentawai, fasilitas tersedia lengkap dan cepat.
Setelah pejabat selesai berkunjung, Mentawai dibiarkan dalam keterpencilan dengan segala penderitaan. Itu berlangsung sejak dulu, sekarang, dan selamanya. Itulah bencana Mentawai yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment