30 December 2010

Managing Land Conflict in Timor-Leste

ICG Managing Land Conflict in Timor-Leste Asia Briefing N°110 9 Sep 2010

This overview is also available in Tetum, Portuguese, Indonesian and Chinese.

OVERVIEW

Eight years after independence, Timor-Leste is still without a legal basis for determining ownership of land. In its absence, the challenges of enforcing property rights have grown more complex and increased the potential for conflict. The politically charged task of sifting through overlapping claims inherited from the country’s two colonial administrations has been complicated by widespread illegal occupation of property after the displacement of over half the population that followed the 1999 referendum. The legal and social uncertainties this created magnified the effects of the country’s 2006 crisis, causing further mass displacement in the capital and beyond. Resolution of these uncertainties through new laws, regulations and policies is necessary to reduce conflict, diminish the risk of further instability and to provide a clear way to resolve past and future disputes.

Land disputes have grown out of a history of displacement that includes forced relocations, military occupation and deadly internal upheavals. Despite this troubled history, few disputes over land ownership lead to violence. Many have been resolved or at least managed through informal mediation, a marker of the strength of customary understandings of land tenure and local communities. Yet some cases remain beyond the capacity of village chiefs, local elders or religious leaders to fix. Others are “pending” in anticipation of long-promised legislation expected to clarify cases that have complex (and undocumented) historical roots. The risk is that this has created expectations that legislation alone will be unable to meet. Many of these issues are more political than technical and will not be resolved by the application of titling laws. Given the weaknesses of the Timorese legal system, support to existing mediation will need to be strengthened alongside new laws to provide a realistic option for those parties ready to settle out of court.

Draft legislation on land titling before parliament will be an important first step towards better management of land disputes and pave the way to enforcement of a new civil code to govern all property rights. It will provide the first legal proof of ownership and provide protections in a growing property market. It will also raise the stakes in ownership disputes and thus the risk of conflict. While the collection of land claims underway in many of the country’s urban areas has shown the level of disputes to be below 10 per cent, it has also brought dormant issues to the surface, such as problems with intra-familial inheritance and tensions over land between communities.

The government has so far been unable to provide alternative housing to the displaced or evicted, an essential element of the constitutional right to housing. A worst-case scenario is for a new land administration system that would legalise dispossession without providing basic protections to those who may be evicted due to either illegal occupation or government expropriation. Land in Dili and other urban areas is already at a premium. Protections in the draft legislation for land held under customary ownership – the vast majority of the nation’s land – are very weak, especially in the face of broad powers granted to the state. In many communities, the individual titles offered by the new legislation are unlikely to be appropriate or in demand. It is the government’s prerogative to develop the country, but without agreeing to clear and enforceable protections for those who will require resettlement, it risks simply creating discontent and rejection of the state’s authority, weakening the very rights it seeks to reinforce. The government’s new ambitious plans for development by 2030 make resolution of such questions more urgent.

Strengthening property rights in Timor-Leste will require more than a law. It needs further consultation and agreement on how to manage community land holdings, particularly as the country seeks to encourage new investment. To address these concerns, a medium-term goal should be to develop a comprehensive land use policy that incorporates community priorities. Earlier donor-driven attempts have fallen short. High-level government engagement and improved mediation will also be required to solve many of the political challenges that surround the more intractable land disputes. While a law on titling remains the first step, to date the draft is poorly understood. Broader debate anchored by wider public information on the law and its implications should be a prerequisite for its passage. This needs to be balanced against the risk of creating even more delays.

As the government plans for accelerated development and identifies areas for donor support, its priorities should include:

    *
      further consultation and explanation of the implications of the land law and associated legislation before passage by parliament;
    *
      immediate clarification on basic protections and resettlement plans for those who will have to move after being deemed illegal occupants;
    *
      engagement with local communities on how the government can protect the rights of communities and access to land held under customary tenure;
    *
      strengthened support to informal mediation processes alongside the formal land titling; and
    *
      beginning discussion on a comprehensive land and housing policy that would incorporate community needs and government objectives.

Dili/Brussels, 9 September 2010

-----
Menangani Konflik Tanah di Timor-Leste

Asia Briefing N°110 9 Sep 2010

RINGKASAN IKHTISAR

Walau Timor-Leste sudah merdeka selama delapan tahun, masih saja tidak ada dasar hukum untuk menetapkan kepemilikan tanah di negara itu. Tanpa adanya dasar hukum, tantangan untuk menegakkan hak atas properti telah menjadi semakin rumit dan telah meningkatkan potensi konflik. Penyaringan klaim-klaim yang saling tumpang tindih yang diwariskan dari kedua pemerintahan kolonial sebelumnya, tugas yang sarat muatan politik, telah dipersulit dengan pendudukan properti secara ilegal yang terjadi secara meluas setelah pengungsian lebih dari setengah populasi Timor-Leste sebagai imbas referendum tahun 1999. Ketidakpastian hukum dan sosial yang ditimbulkannya memperbesar efek krisis tahun 2006 di Timor-Leste, yang mengakibatkan pemindahan penduduk secara besar-besaran di dalam dan di luar ibukota. Penyelesaian terhadap ketidakpastian-ketidakpastian ini lewat undang-undang, peraturan dan kebijakan baru diperlukan untuk mengurangi konflik, menurunkan resiko ketidakstabilan yang lebih jauh lagi, dan memberikan jalan yang jelas untuk menyelesaikan sengketa yang menumpuk dari dulu atau yang bisa terjadi di kemudian hari.

Sengketa tanah telah timbul dari pengungsian di masa lalu yang antara lain diakibatkan oleh pemaksaan relokasi, pendudukan militer dan pergolakan hebat di dalam negeri. Meskipun memiliki sejarah yang rumit ini , namun tidak banyak sengketa kepemilikan tanah berujung dengan kekerasan. Banyak sengketa berhasil diselesaikan atau setidaknya ditangani lewat mediasi informal dan hal ini menunjukkan kuatnya pemahaman adat atas kepemilikan tanah dan masyarakat lokal. Namun begitu, untuk beberapa kasus, penyelesaiannya masih di luar kapasitas para kepala-kepala desa, sesepuh setempat maupun pemuka agama. Kasus-kasus yang lain masih “menunggu” pembuatan undang-undang yang sudah lama dijanjikan yang diharapkan bisa mengklarifikasi kasus-kasus yang memiliki akar sejarah yang kompleks (dan tidak terdokumentasi). Resikonya hal ini telah menimbulkan ekspektasi terhadap undang-undang tersebut yang sulit untuk dipenuhi sendirian. Banyak dari masalah-masalah ini lebih bersifat politik daripada teknis, dan tidak dapat diselesaikan dengan hanya menerapkan sertifikasi hukum. Mengingat lemahnya sistem hukum di Timor-Leste, dukungan terhadap mediasi yang ada sekarang ini perlu diperkuat seiring dengan undang-undang baru untuk memberikan pilihan yang realistis bagi pihak-pihak yang bersedia menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.

Pembahasan rencana perundang-undangan mengenai sertifikasi tanah di parlemen akan menjadi langkah awal penting menuju manajemen yang lebih baik terhadap sengketa tanah dan membuka jalan bagi penegakan hukum perdata yang baru untuk mengatur seluruh hak atas properti. Legislasi itu akan memberikan bukti awal kepemilikan secara hukum dan memberikan perlindungan dalam pasar properti yang sedang tumbuh. Hal ini juga akan menaikkan kepentingan dalam sengketa kepemilikan, dan oleh karena itu juga menaikkan resiko konflik. Meskipun pengumpulan klaim-klaim tanah  yang sedang dilakukan di banyak wilayah perkotaan di Timor-Leste telah memperlihatkan bahwa tingkat sengketa kepemilikan tanah jumlahnya di bawah 10 persen, tapi hal itu juga telah mengangkat persoalan yang tadinya terbenam naik ke permukaan, seperti masalah-masalah warisan antar-keluarga dan ketegangan mengenai kepemilikan tanah ulayat antar kelompok masyarakat.

Pemerintah Timor-Leste sejauh ini belum berhasil menyediakan alternatif pemukiman bagi mereka yang mengungsi atau terusir dari tempat mereka berdiam saat ini, dimana hal ini merupakan sebuah elemen penting dari  hak konstitusional atas perumahan. Kemungkinan terburuk (worst-case scenario) dari hal ini adalah apabila sistem administrasi pertanahan yang baru mengabsahkan pencabutan hak kepemilikan tanpa memberikan perlindungan dasar bagi mereka yang kemungkinan akan terusir karena menduduki sebidang tanah secara ilegal, atau  akibat pengambilalihan hak milik oleh pemerintah. Tanah di Dili dan wilayah perkotaan yang lain saat ini sudah memiliki harga jual yang tinggi. Perlindungan di dalam rancangan perundang-undangan atas tanah yang berada di bawah kepemilikan secara adat – termasuk mayoritas tanah di Timor-Leste – sangat lemah, terutama di hadapan kekuasaan luas yang diberikan kepada negara. Di sejumlah besar kelompok masyarakat, sertifikat tanah perseorangan yang ditawarkan oleh perundang-undangan yang baru sepertinya tidak akan sesuai atau laku. Pemerintah memiliki hak prerogatif dalam membangun negara, tapi tanpa adanya kebijakan perlindungan yang jelas dan bisa dilaksanakan bagi mereka yang akan membutuhkan pemukiman kembali, hal ini akan beresiko menciptakan ketidakpuasan dan penolakan terhadap otoritas negara, sehingga memperlemah hak-hak yang padahal sedang diupayakan untuk diperkuat. Adanya rencana ambisius pemerintah untuk menyelesaikan pembangunan sebelum tahun 2030 membuat penyelesaian persoalan-persoalan ini semakin mendesak.

Perkuatan hak-hak properti di Timor-Leste membutuhkan lebih dari sebuah undang-undang. Diperlukan konsultasi dan kesepakatan yang lebih jauh mengenai bagaimana mengelola aset tanah ulayat, terutama karena Timor-Leste saat ini sedang berusaha untuk mendorong investasi-investasi baru. Untuk menghadapi masalah-masalah ini, tujuan jangka menengah pemerintah sebaiknya mengembangkan sebuah kebijakan penggunaan tanah yang komprehensif yang menggabungkan prioritas masyarakat. Upaya-upaya sebelumnya yang didorong oleh para donor, tidak mencukupi. Keterlibatan pemerintah di tingkat tinggi dan mediasi yang lebih baik juga diperlukan untuk menyelesaikan banyak tantangan politik yang melingkupi sengketa tanah yang lebih problematis. Walaupun undang-undang atas sertifikasi tanah tetap menjadi langkah awal, hingga saat ini pemahaman masyarakat terhadap rancangan undang-undang tersebut sangatlah buruk. Sebelum undang-undang tersebut disahkan, debat publik yang lebih luas harus dilakukan dengan didahului pemberian informasi kepada publik mengenai undang-undang dan implikasinya. Keperluan debat publik ini harus diseimbangkan dengan keinginan agar tidak ada penundaan pengesahan undang-undang lebih jauh lagi.

Bersamaan dengan rencana pemerintah mempercepat pembangunan dan mengidentifikasi bidang-bidang yang membutuhkan dukungan para donor, prioritas pemerintah sebaiknya mencakup:

    *
      Konsultasi dan penjelasan lebih jauh mengenai implikasi undang-undang pertanahan dan perundang-undangan yang terkait sebelum disahkan oleh parlemen;
    *
      Klarifikasi cepat mengenai rencana perlindungan dasar dan pemukiman kembali bagi mereka yang akan diharuskan pindah setelah dianggap merupakan pemukim ilegal;
    *
      Keterlibatan dengan masyarakat setempat mengenai cara pemerintah untuk dapat melindungi hak masyarakat dan akses ke tanah yang berada di bawah kepemilikan adat;
    *
      Upaya-upaya untuk memperkuat dukungan bagi proses mediasi informal seiring dengan sertifikasi tanah formal; dan
    *
      Memulai pembahasan mengenai sebuah kebijakan pertanahan dan perumahan yang komprehensif yang akan menggabungkan kebutuhan masyarakat dan tujuan pemerintah.

Dili/Brussels, 9 September 2010

No comments: