01 September 2010

Kompetensi Presiden Atas Pengampunan: Antara Hak Prerogatif dan Kredibilitas Sistem Peradilan

INDONESIAN VERSION CLICK HERE FOR ENGLISH VERSION DILI, TIMOR-LESTE 31Agustus 2010 - Pada tanggal 20 Agustus 2010, bertepatan dengan hari peyelenggaraan ulang tahun Falintil yang ke tiga puluh lima, Presiden Republik Timor Leste mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden dengan Nomor 31/2010 untuk memberikan pengampunan kepada 26 orang terpidana yang terbukti melalui persidangan di pengadilan, atas keterlibatan mereka dalam krisis 2006 dan kasus penyerangan dan percobaan pembunuhan pada tanggal 11 Februari 2008. Diantara ke 26 terpidana tersebut, 3 orang dihukum karena kasus penembakan/pembunuhan terhadap 8 orang polisi di depan pintu kementerian kehakiman dan 23 orang terpidana lainnya merupakan terpidana dalam kasus penyerangan dan percobaan pembunuhan terhadap Presiden dan Perdana Menteri RDTL.

JSMP meyakini bahwa hingga saat ini masih terdapat persoalan yang sangat serius mengenai sistem atau mekanisme untuk mengatur kompetensi Presiden mengenai pengampunan dan pengurangan hukuman di Timor Leste. Situasi ini bisa dilihat dari sejarah mengenai proses dan pengalaman pelaksanaan kompetensi pengampunan di Timor Leste dan juga praktik yang selama ini terjadi.

JSMP mencatat bahwa pengalaman dan realitas kita menunjukan kebingungan yang cukup serius mengenai perihal praktek pengampunan. Situasi dan realitas ini juga menunjukan kecenderungan untuk memberikan tempat yang cukup besar kepada Presiden untuk menggunakan kompetensinya secara eksesif (di luar batas kewajaran), bertentangan dengan praktek yang lazim, diskriminatif, bertendensi untuk menyalahgunaan kekuasaan atas hak prerogatif konstitusional yang dimandatkan oleh Konstitusi kepada Presiden.

Sebagaimana kita semua memahami bahwa sistem Peradilan di Timor Leste masih sangat rentan hingga saat ini dan masih dalam proses rekonstruksi. Oleh karena itu, JSMP merasa khawatir bahwa kalau salah satu elemen dari komponen Negara Timor Leste, termasuk para badan berdaulat negara lain jika dalam menjalankan hak-hak prerogratif tidak secara hati-hati dan peka (sensible), bisa memunculkan resiko dan ancaman serius atas kepentingan dan komitmen untuk mendirikan sebuah sistem hukum yang kredibel, berwibawa dan independen. Kelalaian keputusan politik seperti ini akan menghancurkan fungsi dan kredibilitas sistem hukum itu sendiri.

Perihal Pengampunan

Walaupun JSMP memaklumi bahwa Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan pengampunan kepada terpidana manapun sebagaimana menurut mandat Pasal 85 (1) Konstitusi, namun JSMP berpandangan bahwa Dekrit Presiden nomor 31/2010 untuk memberikan pengampunan kepada ke 26 terpidana, meninggalkan pertanyaan, keprihatinan bagi JSMP untuk dipertayakan dan klarifikasi.

JSMP tidak mempunyai keberatan apapun terhadap Presiden kalau menjalankan kompetensinya menurut koridor hukum, menghormati norma konstitusional lainnya sebagaimana telah diatur dalam Konstitusi.

JSMP juga tidak mempersoalkan kalau Presiden  ingin memberikan “pengampunan dan mengosongkan” semua tempat penjara, asalkan proses tersebut menurut hukum dan memastikan bahwa kebijakan seperti ini tidak berdampak pada kredibilitas independensi institusi pengadilan, prinsip pemisahan kekuasaan, makna sebuah negara hukum, hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi lainnya.

Oleh karena itu, dalam kasus ini, JSMP merasa bahwa tidaklah tepat atau belum waktunya untuk memberikan pengampunan kepada para terpidana sebagaimana diatur dalam Dekrit Presidensial tersebut. Berikut ini adalah beberapa alasan keberatan JSMP atas Dekrit Presiden tersebut:

   1. Pengampunan ini diberikan kepada semua terpidana secara merata atas keterlibatan mereka dalam kualitas kejahatan yang berbeda.

Proses pengampunan ini tidak didasarkan pada penilaian individual terhadap keadaan-keadaan para terpidana sebagaimana yang lazim terjadi dalam praktik. Menjalankan kewenangan yang tidak sesuai dengan proses normal dapat menciptakan praktik kewenangan Presiden mengenai Pengampunan bersifat diskriminatif karena terpidana lainnya yang sudah menjalankan hukuman penjara tidak mendapatkan pengampunan atau tindakan pengurangan hukuman lainnya.

   2. Keputusaun Presiden untuk memberikan pengampunan kepada ke-26 terpidana, menunjukan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan adalah tidak tepat atau bahkan salah. Keadaan seperti ini menunjukan praktik yang “luar biasa”, karena idealnya pengampunan hanya dilaksanakan dalam keadaan yang eksepsional, bukan sebuah praktik yang selalu terjadi pada setiap hari besar.

   3. Pengampunan seharusnya terjadi hanya dalam situasi yang terdapat pertimbangan secara khusus atas kasus atau terpidana masing-masing, bukan pertimbangan secara kolektif/kelompok atas semua kasus seperti yang saat ini diterapkan.

   4. Pengampunan yang diberikan kepada ke 26 terpidana dengan tingkat hukuman yang berbeda (diantara para terpidana menerima hukuman penjara dari 5 tahun hingga 11 tahun penjara). Hukuman ini menunjukan dan merefleksikam tingkat keseriusan dan konsekuensi kejahatan yang berbeda antara terpidana yang satu dengan yang lainnya. Putusan pengadilan selalu berdasarkan fakta yang dihasilkan dalam proses persidangan yang panjang dan kredibel. Dengan demikian, Presiden harus memberikan dan menunjukan alasan yang melandasi mengapa putusan pengadilan tidak sesuai atau tidak pantas untuk dilaksanakan hingga selesai atau paling tidak setengah dari masa hukuman tersebut.

   5. Pada setiap alinea dari Dekrit Presiden menyebutkan alasan bahwa “berperilaku baik dan bermotif kemanusian”. Hal ini tidak menunjukan perbedaan proses penilaian antara terpidana yang satu dengan yang lainnya dalam sistem kepenjaraan. Praktek dan kebiasaan seperti ini akan berdampak pada kehancuran prosedur normal, meminimalkan wibawa institusi pengadilan dan menganggap putusan pengadilan tidak ada maknanya.

   6. JSMP berpandangan bahwa, seharusnya Presiden hanya bisa mengurangi masa hukuman dari para terpidana menurut tingkat hukuman yang mereka terima sebagai konsekuensi dan tanggung jawab dari tindakan yang mereka lakukan, bukan membebaskan mereka dari keseluruhan hukuman penjara yang ada.

   7. Menurut ketentuan Pasal 65 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memungkinkan peninjaun kembali dari hukuman penjara menjadi hukuman “bebas bersyarat” jika para terpidana menunjukan prilaku yang baik selama dan telah menjalankan setengah dari masa hukumannya.

   8. Pengampunan tersebut, berhubungan dengan kejahatan yang sangat serius, walaupun tidak termasuk dalam kategori kejahatan tingkat internasional, namun mencerminkan “spektrum” yang sangat serius dan berimplikasi sangat serius  terhadap sistem peradilan kriminal dan masyarakat.

   9. Keputusan ini juga mencerminkan kebijakan yang tidak menghargai dan menunjukan apresiasi atas upaya maksimal yang telah dihasilkan oleh institusi judisial dan tidak mendidik publik untuk menunjukan kepercayaan kepada sistem judisial.

Selain alasan yang disebutkan di atas, JSMP berpandangan bahwa, walaupun Presiden menjalankan kompetensinya berdasarkan mandat Pasal 85 (1) Konstitusi, namun pasal ini harus dibaca secara bersama-sama dengan pasal-pasal lainnya yang mengatur mengenai Prinsip Universalitas (Persamaan di depan Hukum), prinsip Independensi institusi Yudisial, dan prinsip-prinsip lainnya.

Secara khusus, JSMP sangat prihatin dan sangat menyesalkan tindakan Presiden yang sering menyebutkan bahwa keputusan atau kebijakan untuk memberikan pengampunan merupakan refleksi dari keyakinan pribadi dan semangat filosofi pribadi Presiden sebagai manusia.

JSMP berpandangan bahwa keyakinan dan filosofi pribadi seorang Presiden tidak bisa diperkenalkan sebagai hukum yang harus diikuti dan dijalankan oleh pemerintah untuk mengatur perihal mengenai pemberian pengampunan. Dalam realitasnya, praktik seprti ini, tidak memberikan sebuah harapan yang baik untuk masa depan sistem hukum yang memungkikan perlindungan yang sama bagi semua orang, dan terutama akan menghancurkan kerangka sistem peradilan kriminal yang masih dalam proses dan tahap pembangunan.

Walaupun JSMP menyadari bahwa pandangan JSMP ini tidak akan mempengaruhi atau menghasilkan dampak langsung dan positif atas Dekrit Presiden mengenai pengampunan, namun paling tidak menunjukan posisi atau sikap jelas dan konsistensi  JSMP mengapa tidak pernah sepakat dengan sikap Presiden atau pihak-pihak lain yang mendukung Presiden atas kebijakan dan praktik pengampunan ini.

Sekali lagi posisi ini, mencermikan visi institusional JSMP yang bekerja untuk mempromosikan dan menjamin keadilan bagi semua orang. Terutama, untuk memamfaatkan kesempatan ini, JSMP ingin menghimbau dan mendesak semua orang untuk menghargai aturan dan norma-norma konstitusional yang menempatkan Timor Leste sebagai sebuah Negara yang berdasarkan atas Negara Hukum Demokratis.

Untuk mendapatkan Informasi  lebih lanjut tolong  hubungi; Luis de Oliveira Sampaio Direktur  Eksekutif  JSMP Email luis@jsmp.minihub.org Nomor Kontak  3323883

No comments: