07 June 2012

JSMP : Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa LMBFL dengan hukuma 12 tahun penjara dan terdakwa AdAF 9 tahun penjara

Siaran Pers 4 Juni 2012- Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa LMBFL dengan hukuma 12 tahun penjara dan terdakwa AdAF 9 tahun penjara

Pada tanggal 30 Mei 2012, Pengadilan Distrik Dili, kembali melanjutkan proses persidangan atas kasus tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan dugaan korupsi yang melibatkan terdakwa berinisial LMBFL dan AdAF. Persidangan ini dilakukan dengan agenda pembacaan tuntutan akhir terdaftar dengan Nomor Perkara:62/C/Ord/2011/TDD dan 580/C.Ord/2011/TDD. Sebelum memasuki agenda tingkat tersebut. Pengadilan telah mengadakan persidanagn secara berturut-turut pada tanggal 23-25 Mei dan pada tanggal 28 Mei dan kemudian dilanjutkan pada tanggal 30 dengan agenda pembacaan tuntutan akhir dari Jaksa Penuntut Umum.

Persidangan pembacaan tuntutan akhir tersebut dipimpin oleh hakim majelis (panel) yang terdiri dari Hakim Edite Palmira, selaku hakim ketua, dan didampingi oleh hakim Paulo Texeira, dan José Maria de Araújo masing-masing selaku hakim anggota majelis. Di lain pihak Jaksa Penuntut diwakili oleh Angelina Saldanha, Felismino Cardoso, dan José Ximenes. Sementara itu terdakwa LMBFL didampingi oleh Sergio Hornai dan Cançio Xavier, dan terdakwa AdAF mendapatkan bantuan hukum dari Fernando Lopez de Carvalho yang ketiga-tiganya berasal dari Kantor Pengacara Umum.

Direktur Eksekutif JSMP Luis de Olivera, mengatakan bahwa proses persidangan atas kasus ini dan hasil akhirnya merupakan barometer atas kredibilitas sistem hukum Timor Leste saat ini dan di masa yang akan datang, oleh karena itu meminta kepada para aktor peradilan untuk menjalakan peranan mereka dengan penuh tanggung-jawab dan hanya tunduk kepada hukum dan Konstitusi.

Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tetap mempertahankan dakwaannya[1] atas kasus ini. Dalam kasus dengan No. 622/C.Ord/2012/TDD yang berhubungan dengan tender konstruksi Direcão Nasionál dos Registo dos Notariado di 8 distrik dan kasus lainnya dengan No. 580/C.Ord/2011/TDD mengenai pengadaan seragam untuk para petugas di lembaga pemasyarakatan (penjara).

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum juga menganggap bahwa terdakwa LMBFL memberikan keterangan palsu di pengadilan terkait kasus pengadaan/penyedian seragam untuk para petugas lembaga pemasyarakatan

Selama proses persidangan untuk mendengarkan keterangan para terdakwa, terdakwa LMBFL menerangkan bahwa ia tidak mengenal pengusaha asal Indonesia yang disebut sebagai pemenang tender. Selain itu dalam kasus yang melibatkan terdakwa AdAF dalam tuntutan akhir Jaksa Penuntut Umum, menuduh bahwa terdakwa AdAF selaku ketua juri dalam tender tersebut memutuskan dan melaporkan kepada terdakwa LMBFL bahwa perusahaan Wasupa Lda yang tampil sebagai pemenang dalam tender. Lebih lanjut, terdakwa AdAF juga memberikan dokumen kepada team juri dari departemen “Pekerjaan Umum” untuk ditandatangani tanpa memberi kesempatan kepada para anggota juri tersebut untuk membaca isi dokumen tersebut terlebih dahulu. Terdakwa AdAF juga diduga terlibat memalsukan tandan tangan untuk anggota juri lain berinsial CdC untuk memberikan keuntungan kepada perusahaan Wasupa Lda.

Setelah membacakan tuntutan akhir untuk kasus pertama, jaksa penuntut umum juga melanjutkan membacakan tuntutan akhir untuk kasus kedua yang melibatkan terdakwa AdAF. Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum, kembali menuduh bahwa terdakwa LMBFL memberikan keterangan palsu kepada pengadilan terkait dengan perihal kualitas bangunan Kantor Pencatatan Sipil di beberapa distrik terutama di Distrik Lospalos.

Berdasarkan pada keterangan para terdakwa, kesaksian para saksi atas kedua kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum, menuntut agar pengadilan menghukum para terdakwa dengan hukuman 12 tahun penjara untuk terdakwa LMBFL dan 9 tahun penjara untuk terdakwa AdAF.

Jaksa Penuntut Umum mendakwa para terdakwa dengan berdasarkan pada pasal 263 KUHP Indonesia mengenai pemalsuan dokumen dengan ancaman hukuma 6 tahun penjara, namun digantikan dengan pasal 304 (2) KUHP Timor Leste mengenai pemalsuan dokumen yang memberatkan dengan ancaman hukuman antara 2-8 tahun penjara dan pasal 3 UU No. 31/1999 mengenai Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Indonesia dengan ancaman hukuman antara 1-20 penjara.

Selain itu, sehubungan dengan tindak pidana pengelolaan tidak benar (krime administrasaun denoza) menurut pasal 274 (1) dengan ancaman hukuman 1-4 tahun penjara, ayat (2) dengan ancaman hukum (2-6 tahun penjara) dan tindak pidana penyalahgunaan wewenang yang diatur dalam pasal 297 KUHP Timor Leste dengan ancaman hukuma 1-4 tahun penjara.

Menjawab tuntutan tersebut, para team pengacara para terdakwa, selama proses persidangan, menolak semua tuduhan tersebut karena, Jaksa Penuntut Umum tidak dapat menunjukan fakta-fakta hukum konkrit untuk memperkuat tuntutan mereka bahwa terdakwa benar melakukan komunikasi dengan pengusaha asing yang berasal dari Indonesia. Selain itu, para pengacara terdakwa juga merasa keberatan dan menolak dengan tegas para saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum terutama saksi LdO, MJ dan JdS karena para saksi tersebut sebelumnya telah memiliki persoalan dengan suami terdakwa AL terkait dengan kasus yang melibatkan suami terdakwa.

JSMP memahami bahwa kasus ini kompleks, membutuhkan kemauan baik dan keberanian profesional dari para aktor peradilan, namun penyelesaian akhir dari kasus ini akan mencerminkan makna yang berbeda dalam konteks Negara Hukum di Timor Leste hari ini dan di masa yang akan datang. Selain itu, menurut JSMP bahwa kasus ini juga akan menjadi ujian institusional bagi para penegak hukum kita, institusi-institusi negara terkait dan juga publik Timor Leste secara umum dan juga akan menjadi sebuah pelajaran di sektor peradilan politik di masa yang akan datang.

No comments: