TIMOR’S COURTS SILENCE WOMEN VICTIMS
East Timor Judicial System Monitoring Programme Press Release December 2008
A flawed interpretation of the Criminal Procedure Code is seeing some perpetrators of sexual violence and domestic violence walk free.
In a country where over half of the adult female population is estimated to have suffered partner violence over the last twelve months, this is an unacceptable indignity.
Article 125 of the Timorese Criminal Procedure Code enshrines a form of what is commonly referred to as the right to silence.
Under this article, witnesses to a crime who are related to, married or have been married to or are living with the defendant can legally refuse to testify.
In such cases, the court must in fact advise the witness that they do not have to provide a statement to the court if they do not want to.
Article 125 applies to witnesses only. This is clarified in Article 124 which specifically states that victims are not considered to be witnesses.
JSMP has learned, however, that some judges and prosecutors are applying Article 125 to victims, advising such individuals that they too have the same right to silence.
Through routine court monitoring, JSMP has observed this occurring in most gender based violence cases. In addition, some prosecutors told JSMP that Article 125 poses a dilemma for prosecutors and judges alike.
Confusion about what can and should be said in a courtroom setting is adding to the understandable reluctance many victims feel in describing their assaults.
While there is no doubt safety is a concern for many, without the victim’s statement, the case typically cannot proceed and the defendant is released without a conviction.
JSMP maintains that judges and prosecutors who are applying Article 125 in relation to victims are misinterpreting the Article and doing the victims themselves a disservice.
JSMP considers the misinterpretation of Article 125 in gender based violence cases to be significant as many women already consider that the formal justice system cannot assist them.
Despite the social and procedural obstacles, more Timorese women are seeking justice, with gender-based violence matters accounting for more than half of court workload in some districts.
When judges and prosecutors do not apply the law exactly, the resulting confusion risks shattering the fragile trust victims have in the courts.
If the endemic problem of domestic assault and sexual violence is to be combated effectively, formal prosecution must be seen to be open to women’s experiences.
Women must be encouraged to speak up against domestic and sexual violence. JSMP therefore urges Timor’s judicial actors to consider more carefully their approach to victims.
For further information please contact: Maria Agnes Bere WJU Coordinator Email : maria@jsmp.minihub.org Landline : 3323883
-----
Indonesian version
PENGADILAN-PENGADILAN TIMOR LESTE MEMBUNGKAMKAN PARA KORBAN PEREMPUAN
Siaran Pers Desember 2008
Oleh karena penafsiran salah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagian pelaku kekerasan seksual dan kekerasan domestik tidak dihukum.
Di Timor Leste diperkirakan bahwa selama 12 bulan terakhir lebih dari setengah perempuan dewasa telah mengalami kekerasan yang dilakukan pasangannya, dan hal ini sama sekali tidak dapat diterima karena merendahkan martabat perempuan.
Pasal 125 dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Timor Leste mengatur sebuah ketentuan yang biasanya disebut hak untuk diam.
Menurut pasal ini, saksi kejahatan yang mempunyai hubungan keluarga, menikah atau hidup bersama terdakwa secara hukum berhak untuk tidak memberi kesaksian.
Dalam kasus semacam ini, pengadilan sebenarnya harus memberi tahu saksi bahwa saksi tidak perlu memberi kesaksian kepada pengadilan kalau tidak mau.
Pasal 125 hanya berlaku untuk saksi perempuan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 124 yang secara spesifik mengatur bahwa korban tidak dianggap sebagai saksi.
Namun, JSMP mengetahui bahwa sebagian hakim dan jaksa menerapkan Pasal 125 pada korban, dan memberitahu korban tersebut bahwa dia juga mempunyai hak untuk diam.
JSMP melihat bahwa hampir semua kasus kekerasan berbasis gender diterapkan pasal 125 dalam proses persidangan. Pasal 125 membuat dilema para jaksa, demikian dikatakan oleh beberapa jaksa kepada JSMP.
Kebingungan tentang apa yang boleh, atau seharusnya, dikatakan di ruangan pengadilan meningkatkan keseganan korban untuk menjelaskan penyerangan yang dialaminya, sebuah hal yang dapat dimengerti.
Walaupun keselamatannya tentu saja merupakan keprihatinan bagi banyak korban, tanpa kesaksian korban biasanya kasus tidak dapat dilanjutkan dan terdakwa dibebaskan tanpa hukuman bersalah.
JSMP berpendapat bahwa jika hakim dan jaksa menerapkan Pasal 125 pada korban, sebenarnya tidak menerapakan Pasal ini sebagaimana mestinya dan justru merugikan korban.
JSMP berpendapat bahwa penafsiran salah terhadap Pasal 125 dalam kasus kekerasan berbasis gender adalah signifikan karena banyak perempuan sudah merasa bahwa sistem peradilan formal tidak dapat membantunya.
Walaupun ada halangan sosial dan prosedural, sekarang lebih banyak perempuan Timor Leste mencari keadilan, dan perkara kekerasan berbasis gender merupakan lebih dari setengah perkara yang ditangani pengadilan di sebagian distrik.
Apabila hakim dan jaksa tidak menerapkan hukum secara persis, kebingungan yang timbul dapat menghancurkan kepercayaan lemah yang dimiliki para korban terhadap pengadilan.
Jika ingin melawan kekerasan domestik dan kekerasan seksual yang sudah menjadi masalan endemis, maka penuntutan formal harus mempertimbangkan pengalaman perempuan.
Perempuan harus didorong untuk menyatakan bahwa mereka tidak menerima kekerasan domestik dan kekerasan seksual. Oleh karena itu, JSMP mendorong para aktor judisial Timor Leste untuk secara lebih seksama mempertimbangkan pendekatannya terhadap korban.
Untuk iformasi lebih lanjut hubungi: Maria Agnes Bere Koordinator WJU Email : maria@jsmp.minihub.org landline : 3323883
East Timor Women - Raising awareness of the plight of women in Timor-Leste.
No comments:
Post a Comment